Kamis, 25 Desember 2014

Tentang Seorang Tabib

Sebuah gubug renta berdiri di tengah hamparan hutan belantara. Hanya ada tiga orang yang hidup di gubug itu. Mereka adalah Mbah Suhud beserta  muridnya, Genjen dan Komed. Kedua murid tersebut oleh Sang Guru diajari dengan ilmu yang berbeda. Genjen mewarisi ilmu kanuragan dan Komed menguasai ilmu pertabiban yang dimiliki Mbah Suhud.
Suatu hari Genjen pergi meninggalkan gubug itu. Ia ingin pergi melihat dunialuar yang selama ini membuat penasaran dirinya. Sang Guru telah mengingatkan, bahkan telah melarangnya untuk pergi. Betapa dunia luar rapat dengan segala rayuan dan godaan. Sang Guru khawatir jika muridnya itu akan terbuai kemegahan dunia. Pada akhirnya tak ada yang bisa mencegah tekad Genjen. Sang Guru hanya berwasiat, ilmu yang diajarkannya semata untuk mengagungkan kebesaran Tuhan. Maka dengan sangat kecewa Sang Guru melepas kepergian Genjen.
***
  Sebulan setelah kepergian Genjen, gubuk terasa sepi. Mbah Suhud  kini sering berdiam diri. Ia menghabiskan hari demi hari memandangi panorama rimbun yang terhampar di sebelah selatan. Ke arah itulah murid kesayangannya pergi. Menembus ribuan pepohonan yang besar-besar dan sangat rapat. Sang Guru tak bisa membayangkan bagaimana sulitnya menaklukkan rintangan begitu lebat itu. Seperti dirinya dulu yang melarikan mereka ketika masih belia. Saat terjadi pertempuran yang merenggut nyawa  kedua orang tua mereka.
Mbah Suhud duduk di tubir tebing. Udara pagi yang segar menemani tepekurnya. Dari belakang ia mendengar langkah kaki Komed menyapu dedaunan kering yang berserakan di tanah. Ia mendekatkan diri ke  sisi guru.
“Guru, sarapan telah kusiapkan di meja. Mari kita makan.” Begitu Komed datang menyapa. Namun suaranya lekas ditangkap angin dan dibawa entah ke mana.
Sang Guru hanya bergeming. Pandangannya masih tetap sedia kala. Tak menjawab. Komed segera merapatkan tubuhnya ke sisi Sang Guru. Ia pun ikut menyatu dengan panorama yang hijau itu. Dari arah timur, matahari terlihat separuh. Sinarnya mulai merata menimpa dedaunan yang masih basah oleh embun. Menikmati pemandangan itu mereka sampai lupa makan.
***
Komed bimbang. Tiga hari sudah Sang Guru terbaring lemah di atas dipanbambu. Tubuhnya lusuh dan dingin. Air mukanya keruh. Bibirnya tiada henti bergetar. Komed berulang kali meramu obat-obatan dari dedaunan yang diambilnya dari hutan dan meminumkannya kepada Sang Guru. Namun tak jua ada perubahan.
Sang Guru tak lagi bisa apa-apa. Mulutnya sudah tak mampu lagi untuk sekadar mengunyah makanan. Buang air kecil pun di tempat tidur. Namun itu semua tak membuat takzim Komed kepada Sang Guru berkurang. Komed menginsyafi, di usia Sang Guru yang senja itu, butuh seseorang untuk merawatnya. Hanya Komed yang bisa dijarapkan.
Pada hari keempat di pembaringan, Sang Guru menghembuskan nafas terakhir. Ia pergi meninggalkan Komed dan melupakan kenangan pahit saat melepas kepergian Genjen. Kini Komed hidup sebatang kara di gubug reyot.
Jasad Sang Guru pun ia tanam di belakang gubug, sesuai permintaan Sang Guru sendiri.  Kepergian Sang Guru semakin mencipta sepi di gubug itu. Sebelum ajalnya, Sang Guru berwasiat kepada Komed agar menemukan kembali Genjen. Mengajaknya pulang untuk menziarahi makam Sang Guru. Komed pun segera merantau.
Komed berjalan ke selatan menembus hutan. Semak belukar setinggi dadanya dengan sabar dilaluinya. Pohon-pohon besar yang rantingnya merunduk, ia retas dengan hati-hati. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan ia hanya mengisi perutnya dengan buah-buahan sepanjang jalan yang ia lalui. Terkadang ia bersua dengan binatang buas. Namun ia terbiasa membuat binatang macam apapun menjadi jinak. Ya, Sang Guru pernah mengajarinya.
Sampai suatu hari ketika Komed melalui jalan yang menghubungkan suatu desa , ia bersua dengan sekawanan pedagang. Ia menemukan tubuh mereka tergelepar di pinggir jalan. Dua pedati kosong di dekat mereka. Jumlah mereka banyak. Tiga di antaranya tewas dan yang lainnya  tak sadarkan diri. Banyak luka menganga di tubuh mereka.
Jiwa tabibnya segera tergugah. Ia  membuka obat-obatan yang ia bawa selama perjalanan. Komed meneduhkan tubuh para pedagang itu lalu pelan-pelan ia oleskan obat itu pada setiap luka.
Setelah dirawat dengan baik, mereka bisa sehat kembali. Mereka pun mengisahkan kejadian yang telah menimpa mereka. Segerobolan penyamun telah merampas harta dan barang dagangan. Para penyamun itu menyerang dengan senjata tajam. Mereka dipimpin oleh seseorang yang sakti.
Melihat kesembuhan para pedagang itu, lantaslah Komed undur diri. Ia melanjutkan perjalananya ke selatan mencari kakaknya. Sampailah ia di pemukiman penduduk. Berbulan-bulan ia berjalan melewati hutan. Dan ternyata benar apa yang dikatakan mendiang gurunya. Dunia luar begitu ramai. Ia berjumpa orang-orang yang lalu-lalang. Sibuk dengan dunianya sendiri. Gadis-gadis cantik hingga perempuan tua yang kesepian di pinggir pasar jua ia temukan.
Komed terus berjalan memasuki pemukiman. Pakaiannya terlihat compang-camping. Sebab berbulan-bulan ia hanya mengenakan satu pakaian. Namun langkahnya tetap tegap dan wajahnya bersih.
Sepanjang perjalanan ia selalu menanyakan perihal kakaknya. Ia menjelaskan ciri-ciri kakaknya kepada setiap orang yang di temuinya. Begitu terus sampai ia berhenti di sebuah warung di pinggir jalan dekat alun-alun.
Komed duduk di lincak di pojok warung itu. Ia menyendiri. Orang-orang memenuhi tempat duduk di warung itu. Beberapa orang menenggak arak dan mereka dikelilingi perempuan-perempuan cantik. Suasana riuh. Mulut-mulut menceracau sekenanya.
Tabib muda hanya menunduk. Tiba-tiba semua orang terdiam. Komed yang duduk membelakangi mereka heran. Beberapa orang menghambur keluar. Mereka lari terbirit-birit seperti ayam kedatangan bajing. Ada yang terjatuh karena kakinya tersandung meja saking gugupnya. Ada pula yang masih duduk di tempat karena mabuk berat.
Komed segera menolehkan wajahnya. Di halaman depan warung segerombolan orang hendak masuk. Komed terkesiap ketika menampak mereka lengkap dengan senjata tajam. Tubuh mereka yang jangkung membuat Komed agak merinding. Mereka mengobrak-abrik seisi warung. Orang-orang yang ada di warung diam saja. Mematung.
Ya, merekalah para penyamun yang selama ini membuat penduduk Desa Bandaran ketakutan. Dengan beringas mereka merampas harta milik penduduk. Orang-orang yang sejak tadi mabuk, mencoba melawan. Namun sayang, mereka kalah digdaya dengan para penyamun itu. Mereka pun terkelepar di lantai. Beberapa tusukan senjata tajam menohok perut mereka. Siang itu warung bersimbah darah.
Tubuh Komed menggigil. Ia menyembunyikan wajahnya dari para penyamun itu. Para penyamun itu segera mendekatinya. Hatinya semakin berkecamuk. Ia bingung. Ia tak punya bekal untuk membela diri selain mengobati luka atau penyakit. Perlahan bulir-bulir keringat dingin  mulai bercucuran di dahi. Tubuhnya kuyup oleh peluh. Ia semakin bergidik ketika melirik tangan salah satu penyamun mengacungkan celurit. Sejurus saja mata celurit iru bakal merobek punggung Komed. Ia segera beranjak dan berguling ke depan. Secepatnya ia ke luar warung. Segera para penyamun menyusul.
Di luar orang-orang ketakutan. Para penyamun itu mengerubungi Komed. Tubuh Komed menggasing. Masing-masing orang yang melihatnya bersitegang.
“Hey anak muda, serahkan barang-barangmu atau kau kubunuh!”, salah seorang penyamun mengancam.
Komed memegang erat-erat barang bawaannya. Ia tak rela obat-obatan yang ia bawa dirampas mereka. Ia berhadapan pada dua pilihan yang membuatnya tak berdaya. Sebisa mungkin ia mencari jalan keluar. Ah, sayang ia hanya seorang tabib. Andaikan Sang Gurunya dulu mengajarinya ilmu kanuragan  pasti ia tak menemu jalan sesulit ini.
Sementara orang-orang yang menyaksikan bertambah takut. Para penyamun itu tengah siap menyabitkan celurit.
“Tidak! Bagaimanapun aku tak akan menyerahkan milikku kepada kalian.” Berontak Komed. Ia benar-benar dalam kebingungan.
“Bedebah!” Hardik penyamun itu.
Tinggal sejurus lagi celurit itu bakal merobek tubuh Komed. Ia memejamkan matanya. Mencoba berpikir. Komed membuka kedua matanya. Lantaslah Komed menghardik  mereka bak lolongan harimau di tengah rimba. Dan mereka pun seketika terpelanting dan lemas tiada daya. Mereka tak bisa apa-apa. Orang-orang takjub menyaksikan kejadian itu.
Ya, tanpa disadari Komed melumpuhkan penyamun itu.  Ia punya ilmu warisan gurunya untuk menjinakkan binatang buas. Pikir Komed, dalam diri para penyamun itu ada sifat binatang buas.
***
Penduduk Desa Bandaran merasa lega. Baru kali ini mereka menemukan sosok yang gagah berani melawan para penyamun yang selama ini membuat mereka resah. Sosok itu masih muda sekali. Namun mereka takzim kepadanya. Bahwa Desa Bandaran telah menemukan seorang  pahlawan.
Dalam waktu yang tak lama nama Sang Tabib disebut-sebut banyak orang. Kemampuannya mengobati penyakit pun cepat terendus. Orang-orang dari segala umur berbondong-bondong mendatanginya.
Kawanan penyamun mendengar kabar itu. Mereka tidak terima atas kekalahannya. Tetua  penyamun marah besar. Ia malu jika anak buahnya dibikin takluk. Maka ia segera menyusun balasan. Akhirnya mereka meluncur ke Desa Bandaran mencari tabib muda itu.
Tetua penyamun itu terlihat sangar. Langkahnya tegap membuat orang-orang takut. Orang-orang yang melihat kedatangannnya di Desa Bandaran bersitegang. Mereka cepat-cepat masuk rumah. Beberapa menyambangi kediaman Sang Tabib.
“Di mana tabib sontoloyo itu? Hah!,” pekik  tetua penyamun. Suaranya parau. Orang-orang bergidik mendengarnya. Penduduk hanya menatapnya bisu. Mereka tak berani berucap sekata pun.
Komed segera keluar dari kediaman. Ia tahu para penyamun itu mencari dirinya. Ia tak ingin ada korban atas kebuasan mereka. Maka ia bergegas.
Ia benar-benar ingin bertempur hari itu. Namun tabib muda tiba-tiba kehilangan hasrat. Ia melihat sosok yang tak asing dalam hidupnya. Sosok itu adalah orang yang sangat dicarinya selama ini.
Komed mendekati tetua penyamun itu. Orang-orang melihat dengan khawatir. Namun tak terbesit sedikit pun rasa takut dalam hati tabib.

Agustus-Desember 2011

Terima Kasih Anda Telah Membaca Artikel
Judul: Tentang Seorang Tabib
Diposkan Oleh Mohammad Najih
Berikanlah saran dan kritik atas artikel ini. Salam blogger, Terima kasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar