Kamis, 25 Desember 2014

Pulang


Pulang menjadi hal yang  musti dilakukan. Usai kepergian cukup lama yang melahirkan kerinduan. Begitulah semestinya pulang menjadi muara rindu.

Bagiku kepergian adalah pulang. Sekian lama yang kujalani hanyalah pulang. Pamitku kepada istri bukanlah soal mengurus kerja di kota. Mencari nafkah untuk keluarga. Dan pulang membawa banyak uang.
Bukan. Aku hanya pulang ke rumah istri keduaku. Setelah itu  pamit lagi. Lalu pulang ke rumah istri pertama. Begitulah kehidupanku.
Sri istri pertamaku. Sejak pulang dari kampus dengan embel-embel sarjana, aku dijodohkan dengannya. Keluarganya tak menolak. Mungkin karena pendidikanku tinggi sehingga mereka enggan menolak lamaran yang mendadak dari orang tuaku.
Bahkan aku sendiri belum begitu mengenal Sri waktu itu. Ya, hanya nurut orangtua. Orang-orang mengenal Sri gadis yang baik. Kami pun menikah. Pacaran. Darinya aku dikaruniai seorang anak laki-laki, Marzuki.
Sri memang tiada duanya bagiku. Ia selalu menciptakan suasana kedamaian di rumah. Setiap pagi, misalnya, secangkir kopi panas selalu menjemputku di atas meja. Akupun beranjak dari tempat tidur. Menyeruput kehangatannya. Manis. Seperti penyeduhnya. Ah, membuatku serasa masih bermimpi. “Sri… Sri… Pagi-pagi sudah bikin kopi.” Begitu sapaku suatu hari. Ia hanya menyunggingkan bibirnya.
Ketika karierku di sebuah perusahaan rokok ternama kian melejit, akupun sering keluar kota. Mengurus pekerjaan. Meninggalkan keluarga. Pulang seminggu sekali. Kadang sebulan sekali. Dan sampai detik ini, hampir tujuh bulanan aku belum pulang. Tetapi aku tak pernah lupa soal nafkah keluarga. Setiap bulan. Uang untuk belanja Sri sehari-hari dan uang jajan Marzuki. Tak pernah telat. Mereka tak pernah menuntut banyak.
Hidupku di kota begitu mapan. Tapi aku tak seperti beberapa kolega yang suka memamerkan kehidupan poligaminya. Mereka menganggap nyaliku kecil.
Di kota itulah aku ketemu Lastri. Dulu ia sekampus dengankuKebetulan ia sedang  mencari kerja, dan tak sengaja berjabat tangan dengannya di kantorku. Karena aku mengenalnya, ia kuterima begitu saja.
Lastri. Rambutnya hitam dan panjang. Tubuhnya berlekuk bak biola. Hidungnya lebih mancung ketimbang Sri. Ketika kupikir-pikir sekarang, rasanya tidak salah jika dulu ia jadi idola kampus. Mungkinkah aku tertarik pada Lastri?
Ah! Aku sempat berpikir aku hanya sedang teringat masa lalu. Ya, dulu ketika masih kuliah aku pernah menyukainya. Tapi apa daya, ia seorang idola. Banyak pesaing. Aku jadi minder. Sehingga itu hanya menjadi simpanan perasaanku yang entah hilang begitu saja.
Kini aku setengah bertanya-tanya pada diri sendiri, bagaimana jika peluang itu terbuka. Kukira para kolegaku yang doyan istri itu akan menyalakan lampu hijau buatku.
Begitulah memang kejadiannya. Lastri tak menolakku. Sejak itu aku pulang ke rumahnya.
***
Menjadi manajer personalia di perusahaan rokok ternama ternyata tak membuatku puas. Dengan modal yang kumiliki, sebuah perusahaan rokok kecil jatuh ketanganku. Beberapa karyawanku pun kualihkan ke perusahaan baru. Aku pun tak ingin berlama-lama bertahan di perusahaan orang.
“Mas yakin ingin keluar dari perusahaan?”
“Iya, Las. Aku yakin perusahaanku sendiri akan maju.”
“Semoga begitu, Mas.”
Malam ini hujan sangat lebat. Derasnya beradu dengan atap. Mencipta gemuruh.
“Las, kau cantik sekali malam ini.”
“Ah, gombal! Oh ya, Mas, jangan lupa besok kita ke butik.”
“Buat apa, Las? Lemari pakaian kita sudah hampir sesak.”
Pret ah! Kalo gitu malam ini aku ndak mau tidur di kamar!”
Weleh-weleh… ngambek deh istriku. Okelah, aku janji besok kita ke sana.”
Hujan di luar semakin deras. Angin ribut mendesir. Kali ini gemuruhnya berubah menyoraki kemenangan Lastri. Suara petir menggelegar. Membuat kaca jendela ikut bergetar. Resonansinya menyentuh telpon genggamku. Di atas meja telpon genggamku bergetar-getar. Sengaja kubuat silent. Kulirik sebentar nama Sri memanggil-manggil. Aku ingin meraihnya. Tetapi  Lastri langsung menubruk tubuhku. Aku terjerembab dan jatuh di kasur. Empuk.
Di langit-langit kamar, aku melihat dua ekor cicak sedang kejar-kejaran. Si jantan merayu betinanya. Lalu, Lastri mematikan lampu.
***
Siang itu aku ada janji dengan seorang investor. Kami akan bertemu di sebuah HOTEL. Kami pernah berkolega di tempat kerjaku dulu. Kujelaskan kepadanya prospek perusahaanku. Dia tertarik.  Dan seminggu lagi kami bakal menandatangani kontrak.
Usai rapat, aku segera meluncur ke kantor. Udara di jalanan yang kian sesak bermacam-macam kendaraan begitu menyengat. Penat.
Tiba-tiba ada yang menggelitik di kantong celana. Telpon genggamku bergetar.
Pak, kapan pulang? Marzuki sudah bertanya-tanya. Segeralah pulang, Pak! Minggu depan Marzuki ikut lomba. Bapak ndak kepingin melihatnya?
Sms dari Sri. Aku tak membalas.
Maafkanlah suamimu ini Sri, batinku. Aku belum bisa pulang. Kali ini pekerjaan memang menumpuk. Apalagi minggu ini aku harus menyelesaikan kontrak.
Aku masih menyetir mobil. Beberapa menit kemudian telpon genggamku bergetar lagi. Langsung kubaca. “Mas, nanti sore kita ke mal, ya. Belikan aku kalung yang bagus.”
Ah, Lastri! Hobinya buang-buang duit saja. Tak pernah berpikir hemat. Jatah belanja sebulan sudah dihabiskan dalam dua hari. Hah!
Di perempatan tiba-tiba lampu merah. Segera mobil kuhentikan. Rem kuinjak dengan keras. Ban mobilku beradu dengan aspal dan berderit kencang. Hampir saja aku menabrak pantat mobil di depan. Pengemudi lainnya menyalakan klaksonnya. Suaranya mendesing dan membuatku panik.
Lampu hijau. Mobil kulajukan di bibir jalan.  Dari arah yang berlawanan sebuah mobil sedan merah melaju kencang. Berpapasan. Aku terkesiap ketika melihat sekilas dua orang yang berada di jok belakang mobil itu. Seorang lelaki dan perempuan. Wajah yang tak asing lagi. Lastri. Tapi benarkah?

***
Pagi terasa suram di mataku. Mentari tak seceria biasanya. Jalanan di depan rumahku sepi. Mungkin orang-orang sedang malas jogging atau lari pagi. Tak seperti Minggu biasanya yang selalu ramai. Bahkan tukang sayur yang biasa mangkal di depan pos satpam pun absen.
Aku melangkah ke halaman rumah. Mencoba menikmati pagi sendiri. Kulihat simbok sibuk di dapur. Sedang Lastri masih mendengkur. Entah dari mana ia semalam. Kulihat beberapa bingkisan di atas meja. Kalung, baju baru, dan belanjaan lainnya. Aih… ternyata Lastri jadi ke mal. Haha… Pasti sendirian!
Biarlah. Salahku juga membiarkannya bekerja di perusahaan yang dulu. Tak apa. Itung-itung biar ia tidak menganggur  di rumah.
Pikiranku kembali pada simbok. Tiba-tiba aku menyadari kembali kehidupan di kota yang jauh berbeda dengan kehidupanku di kampung dulu. Kepingin kopi saja harus memanggil simbok. Di kampung, pagi-pagi kopi sudah siap di meja. Begitulah akhirnya aku teringat Sri. Sebab hanya Sri yang menyeduhkan kopi untukku setiap hari. Sri bagaimana keadaanmu? Aku ingin pulang ke pelukanmu. Hatiku meraung.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Mengeluarkannya perlahan. Segar. Menutup mata sebentar. Lalu kubuka lagi. Seorang loper koran datang. Ia melemparkan lembaran koran hari ini ke arah pintu gerbang. Segera aku meraihnya.
“Pemerintah Naikkan Harga Cukai Rokok.” Begitu membaca headline koran hari ini, aliran darah di dadaku serasa berhenti. Seketika wajahku memucat. Buram. Seperti pagi ini.
Aku mencoba menghibur diriku sendiri. Menjanjikan mimpi-mimpi untuk diriku sediri. Bahwa aku pasti bisa menghadapi ini semua. Dan memang aku masih memiliki harapan. Ya, aku akan segera menghubungi investor itu untuk memastikan kontrak.
Jika harga cukai rokok naik, perusahaanku terancam bangkrut. Bagaimana tidak, produksi rokok di pabrikku tak seberapa. Perusahaan yang tergolong kecil. Jika ditambah harga cukai yang tinggi, ongkos produksi bisa membengkak. Dari mana aku menggaji karyawanku? Aku belum punya modal yang cukup.
Aku  mematung di halaman. Telpon genggamku berbunyi. Sri. Aku tergagap.
“Pak, kapan pulang?”
“Ya Bu, Rabu bapak pasti pulang.”  Aku mencoba tetap riang.
“Janji ya, kau tak ingin melihat anakmu mengikuti lomba? Dia jago menggambar lho.”
Tiba-tiba ada yang mengalir dari mataku. Alirannya menerus menelusuri pipiku. Mengelok dan jatuh menjadi bulir-bulir. Menetes. Membasahi kerah baju. Serasa ada yang runtuh. Luluh.
***
Pagi ini adalah pertemuanku dengan investor itu. Sesuai janji seminggu yang lalu. Kami akan rapat singkat di sebuah HOTEL. Aku pun segera beranjak. Tapi kulihat di rumah hanya aku seorang. Sepi. Lastri belum pulang. Entahlah, sibuk apa dia sekarang. Aku tak sempat memikirkannya. Persoalan perusahaan menyita banyak pikiran dan waktuku.
Aku segera ke HOTEL bersama seorang stafku, Doni. Ia yang menyetir mobil. Aku duduk di sebelahnya. Sampai di hotel. Kami berjalan pelan melewati lobi dengan membawa sejuta harapan. Sebab kerjasama ini bakal menghidupi perusahaanku. Kami melangkah dan masuk ke dalam lift. Dalam beberapa detik pintu lift terbuka. Lantai enam.
Aku menunggu di ballroom sekitar lima belas menitan. Aku hanya menatapi vas bunga di atas meja. Sesekali kutengok jam tangan. Saat aku mendongakkan wajah, mataku menampak investor yang kutunggu-tunggu. Aku terkesiap, lelaki itu datang dengan menggandeng seorang perempuan yang pasti kukenal.
Lastri tergagap menatap wajahku. Pipinya memerah. Panik. Lalu menyembunyikan wajahnya di balik punggung lelaki itu. Ada terik di dadaku. Panas. Aku tak bisa membayangkan apa yang ia lakukan bersama lelaki itu.
“Lastri, semalam kau tak pulang! Rupanya kau di sini!” Dadaku berubah perih. Aku tak kuat menahan. Tanpa mengucapkan sepatah kata, aku segera melenggang. Meninggalkan investor itu bersama Lastri. Doni memapahku dan mencoba menghibur. Investor itu nampak bingung.
Lastri hanya diam melihatku pergi. Menundukkan kepalanya. Lalu balik kanan bersama lelaki itu. Rasanya aku masih tak percaya Lastri berbuat di luar perkiraanku. Tapi mungkin inilah jawaban yang harus kuterima dari kebiasaan Lastri sering pulang larut malam. Bahkan terkadang tak pulang.  Barangkali benar, perempuan yang kulihat bersama seorang lelaki di perempatan jalan itu Lastri.
***
Aku ingin pulang kepada Sri. Sekian lama aku menelantarkannya. Meninggalkannya di kampung. Sedang aku sendiri hidup glamour di kota. Dan mulai detik ini aku akan pulang ke pelukan Sri. Selamanya.
Entah, mengenal Lastri adalah sebuah kecelakaan atau pelajaran. Jangan-jangan perlakuan Lastri kepadaku benar. Semacam tamparan untukku karena telah menduakan Sri. Tapi yang pasti aku tak ingin melukai Sri dengan kisah tentang Lastri. Biarlah itu menjadi rahasia yang kusimpan rapi di balik kepulangan ini.
“Bapak pulang?”
Sri menyambutku dengan riang. Segera ia menyambutku dengan dekapan. Tangisan kecil pecah di antara kami. Kulihat foto Marzuki terpajang di dinding. Bersama Sri, tangannya memeluk erat sebuah trofi. Sepertinya gambar mereka berdua tersenyum menyapa kehadiranku.
Sekian lama kami hanya mematung di depan pintu. Berdekapan. Sri menyembunyikan wajahnya di dadaku. Hening.
Tiba-tiba telpon genggamku mengusik kekhusyukan. Telpon dari simbok. “Pak, gawat pak, gawat! Bapak kapan pulang? Nyoya pulang bawa lelaki!

Semarang, Desember 2011

Terima Kasih Anda Telah Membaca Artikel
Judul: Pulang
Diposkan Oleh Mohammad Najih
Berikanlah saran dan kritik atas artikel ini. Salam blogger, Terima kasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar